AGAMA LEMBAH SUNGAI KUNING
Makalah diajukan untuk memenuhi tugas mingguan
Pada Mata kuliah Agama-Agama Minor
Dosen Pembimbing:
Dra. Hj. Siti Nadroh, M.Ag
Disusun oleh:
 
Faisal Wibowo




JURUSAN PERBANDINGAN AGAMA
FAKULTAS USHULUDDIN DAN FILSAFAT
UNIVERSITAS ISLAM NEGRI SYARIFHIDAYATULLAH
JAKARTA
2013
 KATA PENGANTAR

Puji dan Syukur kami panjatkan kehadirat Allah SWT. Karena berkat rahmat dan karunia-Nya, penulis dapat menyelesaikan makalah ini dengan judul “ Peradaban China Kuno (Sungai Kuning)’’
Tujuan penulisan makalah ini adalah untuk memberikan informasi kepada para pembaca terkait peradaban lembah sungai kuning, selain itu juga untuk memenuhi tugas tambahan pada mata kuliah agama-agama minor.
Kami menyadari bahwa penulisan makalah ini jauh dari kesempurnaan, maka dari itu kami mohon kritik dan saran  dari pembaca sehingga pada penulisan makalah berikutnya bisa lebih baik lagi.
Semoga makalah ini bermanfaat untuk kita semua dan tentunya akan menambah khazanah wawasan keilmuan kita. Aamiin.


         Ciputat, 1 April 2013

BAB I
PENDAHULUAN

A.     Latar Belakang Masalah

Di dunia ini terdapat beberapa negara yang menyebar dan memulai awal peradabannya, masing- masing dalam memulai peradabannya biasanya banyak perubahan-perubahan yang terjadi. Maka dalam makalah ini kami akan membahas. Peradaban di Cina dimulai dari pradaban di sungai kuning atau sungai Huang-Ho. Sungai huang ho adalah sungai yang terletak di daerah pegunungan Kwen-Lun di  Tibet. Setelah melalui daerah pengunungan Cina Utara, sungai panjang yang membawa lumpur kuning itu membentuk dataran rendah Cina dan bermuara di Teluk Tsii-Li di Laut Kuning. Sedang didataran tinggi sebelah selatan mengalir Sungai Yang Tse Kiang yang berhulu di PegununganKwen-Lun (Tibet) dan bermuara di Laut Cina Timur. Peradaban lembah sungai Kuning merupakan salah satu pelopor dari kebudayaan dunia. Sejak masa purba sampai sekarang, peradaban Cina ini mampu bertahan dan terus berkembangdi negeri Cina. Sebagaimana peradaban-peradaban kuno yang lain, peradaban Cina ini berkembang di sekitar lembah sungai Kuning sejak 5000 tahun yang lalu. Lembah Sungai HoangHo merupakan salah satu daerah yang subur di Tiongkok. Disebut Sungai Kuning´ karena pada saat terjadi banjir, Sungai Hoang Ho membawa lumpur berwarna kuning. Demikian pula laut dimana sungai tersebut mengalir sebagai muaranya disebut Laut Kuning. Dalam peradaban sungai kuning Huang-ho juga terjadi perubahan teknologi, sistem pemerintahan, dan dinasti yang berkuasa. Oleh sebab itu untuk lebih jelasnya saya akan mengulas peradaban lembah sungai kuning Huang-Ho.

B.     Rumusan Masalah

1.      Bagaimana peradaban lembah sungai kuning?
2.      Dimana letak geografis lembah sungai kuning?
3.      Bagaimana system social kemasyarakatan di lembah sungai kuning?
4.      Bagaimana system pertanian pada masa peradaban sungai kuning?
5.      Bagaimana kebudyaan di lembah sungai kuning?
6.      Bagaimana system pemerintahan di lembah sungai kuning?
7.      Bagaimana perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi pada masa peradaban sungai kuning?
8.      Bagaimana perkembangan arsitektur pada masa peradaban sungai kuning?
9.      Bagaimana perkembangan Astronomi pada masa peradaban sungai kuning?
10.  Bagaimana perkembangan Aksara dan Bahasa pada masa China Kuno?
11.  Bagaimana Ritual da kepercayaan pada masa China Kuno?

BAB II
PEMBAHASAN
A.     Letak Geografis

Wilayah Pegunungan Cina terbagi menjadi 2 yaitu Pegunungan Cina Utara dan Pegunungan Cina Selatan. “Di dataran tinggi sebelah Utara mengalir sungai Hoang Ho, yang berhulu di pegunungan Kwen Lun di Tibet dan bermara di laut Kuning . . . Di dataran tinggi sebelah Selatan mengalir sungai Yang Tse , yang berhulu di pegunungan Kwen Lun dan bermuara di Laut Cina timur. “Di hilir kedua sungai besar tersebut, terdapat dataran rendah Cina yang subur. Kedua sungai besar itu merupakan urat nadi kehidupan bangsa Cina.[1]
Hilir sungai Hwang Ho (sungai kuning) yang subur tersebut ditanami dengan gandum. Padi di tanam di hilir sungai Yang Tse . Daerah subur di Cina terletak pada daerah aliran sungai besar. Dataran rendah yang subur tersebut di antaranya di “China tengah yang luasnya mencapai 300.000 km² dan dialiri oleh Sungai Kuning atau Huanghe.”[2]
Secara sederhana dapat dikatakan bahwa dataran rendah pada aliran sungai Hwang Ho memiliki tanah yang subur, begitu juga dengan lembah sungai yang berada dihilirnya (hilir sungai Hwang Ho dan Yang Tse). Sungai Hwang Ho memiliki panjang 5.464 km, sungai ini merupakan sungai terpanjang kedua di Tiongkok setelah Sungai Panjang (Yang Tse ). Sungai Kuning atau Hwang-Ho bersumber di daerah pegunungan Kwen-Lun di Tibet. Setelah melalui daerah pengunungan Cina Utara, sungai panjang yang membawa lumpur kuning itu membentuk dataran rendah Cina dan bermuara di Teluk Tsii-Li di Laut Kuning. Sedang di dataran tinggi sebelah selatan mengalir Sungai Yang Tse Kiang yang berhulu di Pegunungan Kwen-Lun (Tibet) dan bermuara di Laut Cina Timur.[3]

Peradaban Lembah Sungai Kuning adalah peradaban bangsa Cina yang muncul di lembah Sungai Kuning (Hwang Ho atau yang sekarang disebut Huang He).  Sungai Hwang Ho disebut sebagai Sungai Kuning karena membawa lumpur  kuning  sepanjang  alirannya.   Sungai  ini  bersumber dari Pegunungan Kwen-Lun  di  Tibet  dan  mengalir  melalui  daerah  Pegunungan Cina Utara hingga membentuk dataran rendah  dan  bermuara di Teluk Tsii-Li, Laut Kuning. Pada daerah lembah sungai yang subur inilah kebudayaan bangsa Cina berawal. Dalam sejarah, daerah tersebut menyulitkan masyarakat Cina kuno untuk melaksanakan aktivitas hidupnya karena terjadinya pembekuan es di musim dingin dan ketika es  mulai mencair akan terjadi banjir serta air  bah. Berbagai kesulitan dan tantangan tersebut mendorong bangsa Cina untuk berpikir dan mengatasinya dengan pembangunan tanggul raksasa di sepanjang sungai tersebut.

B.     Sistem Sosial Kemasyarakatan
Secara social kemasyarakatan, terlihat pada dinasti Shang (yang nanti akan dijelaskan kemudian), namun yang jelas bahwa ini bukanlah masyarakat egalitarian. Shang menunjukkan kesenangan luar biasa pada hierarki dan peringkat yang akan menjadi salah satu ciri khas peradaban Cina. Sebagai putra Di, sang raja berada di puncak pirmida feodal, sendirian di kastanya. Peringkat selanjutnya adalah para pangeran kerajaan, penguasa berbagai kota Shang, di bawah mereka adalah kepala keluarga-keluarga terhormat yang memegang jabatan di istana, dan para bangsawan yang memperoleh pendapatan dari wilayah pedesaan di luar dinding-dinding kota. Akhirnya, pada bagian dasar piramida feodal, adalah rakyat biasa, kasta prajurit.[4]

Kehidupan kota kaum terhormat Dinasti Shang nyaris sama sekali tidak punya kesamaan dengan kehidupan komunitas petani yang menanami tanah itu. Kaum aristocrat menganggap mereka hamper bukan manusia, namun seperti kaum barbar, petani juga punya pengaruh yang terus bertahan pada budaya Cina. Para petani ini mengidentifikasi diri dengan tanah, dan masyarakat mereka diatur oleh pembedaan antara musim dingin dan musim panas. Pada musim semi, musim bekerja dimulai. Kaum lelaki bergerak ke luar desa dan mendirikan pondok-pondok permanen di lading; selama musim bekerja mereka tidak ada kontak dengan istri dan anak perempuan mereka, kecuali ketika kaum perempuan itu membawakan makanan mereka. Setelah panen, tanah itu diistirahatkan dan para pria kembali ke rumah. Mereka menutup tempat tinggal mereka dan terus berada di dalam rumah selama musim dingin. Ini merupakan periode sabbatical, untuk bersitirahat dan menyembuhkan diri, tetapi kaum wanita yang tidak punya banyak pekerjaan selama musim panas, kini memulai musim bekerja mereka, seperti menenun, memintal, dan membuat minuman anggur.

Pergantian ini mungkin telah berkontribusi pada konsep Yin dan Yang  Cina. Yin adalah aspek perempuan dari realitas. Seperti kaum perempuan petani, musimnya adalah musim dingin, aktifitasnya bersifat ke dalam, dan dilakukan di dalam  tempat-tempat yang gelap dan tertutup. Yang adalah aspek laki-laki, aktif pada musim panas dan siang hari, ia merupakan kekuatan yag bersifat ke luar dan hasilnya berlimpah. [5]

C.      Sistem Pertanian

Pada bagian hilir dari Sungai Kuning, terdapat dataran rendah Cina yang subur dan merupakan pusat kehidupan bangsa Cina. Masyarakat Cina umumnya bercocok tanam gandum, padi, teh, jagung, dan kedelai. Kegiatan pertanian Cina Kuno memang sudah dikenal sejak zaman Neolitikum ( 5000 SM) dan tanaman pangan utama yang ditanam adalah padi. Pada zaman perunggu, prioritas pokok dalam pertanian rakyat Cina adalah  padi, teh, kacang kedelai, dan rami. Kegiatan pertanian mengalami kemajuan pesat dalam pemerintahan Dinasti Qin (221-206 SM). Di masa itu, masyarakat Cina telah menerapkan sistem pertanian yang intensif dengan penggunaan pupuk, irigasi yang baik, dan perluasan lahan gandum.

Pada daerah yang subur itu masyarakat Cina hidup bercocok tanam seperti menanam gandum, padi, teh, jagung dan kedelai. Pertanian Cina kuno sudah dikenal sejak zaman Neolitikum, yakni sekitar tahun 5000 SM. Kemudian pada masa pemerintahan Dinasti Chin (221-206 SM) terjadi kemajuan yang mencolok dalam sistem pertanian. Pada masa ini pertanian sudah diusahakan secara intensif. Pupuk sudah dikenal untuk menyuburkan tanah. Kemudian penggarapan lahan dilakukan secara teratur agar kesuburan tanah dapat bertahan. Irigasi sudah tertata dengan baik. Pada masa ini lahan gandum sudah diusahakan secara luas.[6]

D.     Kebudayaan

Di Lembah Sungai Hwang-Ho yang subur ini, pada tahun 2500 SM, tumbuh peradaban manusia yang didukung oleh bangsa Han. Bangsa tersebut merupakan campuran ras Mongoloid dengan ras Kaukasoid. Menurut cerita, pada sekitar 1800-1600 SM di Lembah Sungai Hwang-Ho telah berdiri pemerintahan Dinasti Hsia dengan dasar budaya perunggu, tetapi masyarakatnya belum mengenal tulisan.

Nama bangsa Han diambil dari nama dinasti yang pernah memerintah pada 206SM-221M. Orang Cina juga menyebut dirinya dengan bangsa Tang, mengambil dari nama dinasti yang pernah memerintah pada  618M-906M dengan gilang gemilang.
Masyarakat Cina kuno telah mengenal tulisan sejak 1500 SM yang ditulis pada kulit penyu atau bambu. Pada awalnya huruf Cina yang dibuat sangat sederhana, yaitu satu lambang untuk satu pengertian. Pada masa pemerintahan Dinasti Han, seni sastra  Cina  kuno berkembang pesat seiring dengan ditemukannya kertas. Ajaran Lao Zi, Kong Fu Zi, dan Meng Zi banyak dibukukan baik oleh filsuf itu sendiri maupun para pengikutnya . Pada masa pemerintahan  Dinasti Tang,  hidup dua orang pujangga terkemuka yang banyak menulis puisi kuno, yaitu Li Tai Po dan Tu Fu. Selain berupa sastra, kebudayaan Cina yang muncul dan berkembang dilembah Sungai Kuning adalah seni lukis, keramik, kuil, dan istana. Perkembangan seni lukis terlihat dari banyaknya lukisan hasil karya tokoh ternama yang menghiasi istana dan kuil. Lukisan yang dipajang umumnya berupa lukisan alam semesta, lukisan dewa-dewa, dan lukisan raja yang pernah memerintah. Keramik Cina merupakan hasil kebudayaan rakyat yang bernilai sangat tinggi dan menjadisalah satu komoditi  perdagangan saat itu. Rakyat Cina menganggap bahwa  kaisar  atau raja merupakan penjelmaan dewa sehingga istana untuk sang raja dibangun dengan indah dan megah. Hasil  kebudayaan Cina yang terkenal hingga saat ini adalah Tembok Besar Cina yang  dibangun  pada  masa  Dinasti Qin untuk menangkal serangan dari musuh di bagian utara Cina. Kaisar Qin Shi Huang menghubungkan dinding-dinding  pertahanan yang telah dibangun tersebut menjadi tembok raksasa dengan sepanjang 7000 km.

E.      Pemerintahan

Dalam perjalan sejarahnya, ada dua macam sistem pemerintahan yang pernah dianut dalam kehidupan kenegaraan Cina kuno, yaitu: Sistem Pemerintahan Feodal, dalam masa pemerintahan ini, kaisar tidak menangani langsung urusan kenegaraan. Kondisi ini berlatar belakang bahwa kedudukan kaisar bersifat sakral. Kaisar dihormati sebagai utusan atau bahkan anak dewa langit, sehingga tidak layak mengurusi politik praktis. Sistem Pemerintahan Unitaris, kaisar berkuasa mutlak dalam memerintah. Kekuasaan negara berpusat di tangan kaisar, sehingga kaisar campur tangan dalam segala urusan politik praktis.

Sejarah mencatat terdapat banyak dinasti yang membangun Cina menjadi bangsa besar, Cina pun memasuki fase pasang surut kekuasaan, tercerai berai, dan mencapai puncak kekuasaannya. Secara umum, pusat kekuasaan dinasti di Cina berada di bagian utara , pada sebuah lembah dimana aliran sungai Hwang Ho di utara bertemu dengan sungai Yang Tse di selatan. Beberapa dinasti yang menonjol dalam sejarah Cina:

1.      Dinasti Xia (s. 2200-1600). Tidak ada bukti arkeologis atau documenter tentang Xia, tetapi ada kemungkinan ada semacam kerajaan di dataran luas itu pada akhir millennium ketiga. Peradaban datang dengan lambat dan penuh rintangan ke Cina. Dataran luas itu terisolasi dari wilayah-wilayah sekelilingnya oleh pegunungan  tinggi dan tanah berawa yang tak dapat dihuni. Iklimnya keras, dengan musim panas yang memanggang dan musim dingin yang menusuk tulang, ketika koloni itu diserang oleh angin berpasir yang membekukan. Sungai kuning sulit untuk dinavigasi dan gampang meluap. Para pemukim awal harus menggali kanal-kanal untuk mengeringkan tanah berawa dan membangun tanggul agar banjir tak menghancurkan lading-ladang. Orang Cina tidak punya ingatan sejarah tentang orang-orang yang telah menciptakan karya-karya kuno ini, tetapi mereka menyampaikan berbagai kisah tentang raja feodal yang pernah memerintah kekaisaran Cina sebelum Xia, dan yang membuat wilayah pinggiran dapat ditinggali. Huang Di, kaisar Kuning telah melawan monster dan menetapkan perjalanan matahari, bulan, bintang. Shen Nong telah menemukan pertanian, dan pada abad kedua puluh tiga, Kaisar Yao dan Shun yang bijak telah membangun masa keemasan perdamaian dan kemakmuran. Selama pemerintahan Shun, tanah itu dilanda banjir bandang, dan Shun memerintahkan Yu, kepala bagian pekerjaan umumnya, untuk memecahkan persoalan tersebut. Selama tiga belas tahun, Yu membangun kanal-kanal, menjinakkan rawa-rawa, dan menggiring sungai-sungai ke laut, sehingga mereka mengalir dengan cara yang teratur bagaikan tuan-tuan pergi ke resepsi besar. Berkat upaya Yu yang bertindak seperti Hercules, orang-orang bisa menanam padi dan gandum. Kaisar Shun begitu terkesan sehingga dia mengatur agar Yu menjadi penggantinya, dan begitulah Yu menjadi pendiri Dinasi Xia.[7]

2.      Dinasti Shang (Hsia) merupakan dinasti tertua di Cina walaupun tidak  banyak peninggalan tertulis mengenai dinasti ini. Berdasarkan cerita rakyat Cina kuno,  pada masa ini telah berkembang sistem kepercayaan terhadap Dewa Shang-Ti. Dinasti Shang berakhir sekitar tahun 1766 SM dan digantikan oleh dinasti Yin (1700-1027 SM). Dinasti Shang dianggap dinasti yang mengawali sejarah Cina karena baru pertama kali dilakukan penulisan sejarah oleh Suma Chien. Catatan itu dituliskan di atas bejana perunggu, tempurung kura-kura dan tulang binatang. Tulisan Cina berbentuk gambar sehingga disebut piktografi (picture = gambar, grafi = huruf ) setiap gambar melambangkan gagasan tertentu sehingga tulisan itu juga disebut ideografi. ( Idea = gagasan, grafi = huruf )

Raja-raja Cina dari Dinasti Shang, yang memerintah di Lembah Sungai Kuning sejak abad keenam, percaya bahwa mereka adalah putra-putra Dewa. Dikabarkan bahwa “Di”, Dewa terkuat yang biasanya tidak ada kontak dengan manusia, telah mengirimkan seekor burung hitam ke dataran luas Cina. Burung itu bertelur, dan telurnya dimakan oleh seorang perempuan. Dalam perjalanan waktu, perempuan ini melahirkan leluhur pertama monarki Shang. Karena hubungannya yang unik dengan Di, raja itu adalah satu-satunya orang di dunia yang diperbolehkan mendekati Tuhan Tinggi secara langsung. Dia sajalah yang bisa mendapatkan jaminan keamanan bagi rakyatnya dengan cara mempersembahkan kurban kepada Di. Dengan bantuan para peramalnya, dia berkonsultasi kepada Di tentang kebaikan melaksanakan ekspedisi militer atau mendirikan koloni baru. Dia bisa bertanya kepada Di apakah panen akan berhasil atau tidak. Raja itu memperoleh keabsahannya dari kekuatannya sebagai penujum dan penengah dengan alam langit, tetapi pada tingkatan yang lebih duniawi, dia juga bergantung pada senjata perunggunya yang unggul. Perkotaan Shang yang pertama mungkin didirikan oleh para perajin yang telah merintis pembuatan senjata dari perunggu, kereta perang, dan guci-guci mengkilap yang digunakan Shang dalam sesajian mereka. Dengan kekuatan teknologi baru ini raja-raja dapat memobilisasi ribuan petani untuk kerja paksa atau pergi berperang.[8]

Wilayah Dinasti Shang mencakup hingga Lembah Huai di tenggara, hingga Shantung di timur, dan pengaruh mereka bisa dirasakan sampi sejauh Lembah Wei di barat. Mereka tidak memerintah Negara yang tersentralisasi, melainkan telah membentuk jaringan kota-kota istana kecil, masing-masingnya diatur oleh seorang perwakilan kerajaan. Kota-kotanya kecil, hanya terdiri atas dinding tanah padat yang tinggi untuk menjaga dari banjir atau serangan. Di Yin, ibu kota Shang yang terakhir, panjang keliling dinding-dinding itu hanya sekitar 500 meter. Perkotaan Shang mengikuti pola seragam; kota-kota itu biasanya berbentuk segi empat, setiap dinding mengarah ke salah satu dari empat arah kompas, dan semua rumah menghadap ke selatan. Istana raja memiliki tiga halaman berdinding dan satu balai pertemuan untuk acara ritual dan politik; di sebelah timur istana terdapat kuil para leluhur. Pasar berada di sebelah utara kediaman raja, dan para perajin, pembuat kereta kencana, pembuat anak panah dan busur, pandai besi dan perajin tembikar tinggal di distrik selatan kota bersama para carik, peramal, dan ahli ritual kerajaan. [9]

3.              Dinasti Chou (Zhou, 1222 SM – 249 SM) adalah dinasti ketiga di Cina dan pada masa ini diterapkan prinsip feodalisme dengan pembagian kekuasaan pemerintahan. Pemerintah pusat yang dipimpin kaisar dibagi menjadi daerah-daerah pemerintahan yang dipimpin oleh raja bawahan. Pendiri dinasti Chou adalah Chou Wen Wang, pusat pemerintahannya di Chang – An Dinasti Chou (Zhou) meletakkan dasar sistem pemerintahan feodalisme dan pola kebudayaan Cina. Kerajaan dibagi menjadi negara-negara bagian yang diperintah oleh raja bagian atau raja Vazal. Raja Vazal memerintah atas nama kaisar dan tunduk kepada kaisar. Kesetiaan raja vazal diwujudkan melalui penyerahan upeti secara teratur dan mengirimkan tentara yang dibutuhkan pada saat negara menghadapi ancaman. Pada masa dinasti Chou hiduplah para filosof yang terkenal yaitu Lao Tze, Kung Fu Tze dan Meng Tze. Ajaran Kung Fu Tze mengenai kesusilaan menjadi dasar perkembangan kebudayaan Cina. Runtuhnya Dinasti Chou disebabkan oleh beberapa faktor antara lain tidak ada raja-raja pengganti yang cakap, kerajaan terpecah menjadi dua yaitu Chou Barat dan Chou Timur, banyak raja vazal yang melepaskan diri. Raja vazal yang kuat menyerang raja pusat dan menggantikannya. Masyarakat Dinasti Zhou suka berburu, memanah, menunggangi kereta perang, dan pesta-pesta mewah. Mereka mengatur kota-kota mereka dengan model Shang Kuno, menyembah dewa-dewa alam dan para leluhur, dan suka meramal. Mereka juga melanjutkan penyembahan Di, tetapi dalam cara khas agama kuno, mereka menggabungkan Di dengan Dewa Langit mereka sendiri, yang mereka sebut Tian (Langit).[10]

Satu-satunya hal yang menyatukan mereka semua adalah kultusnya. Ritus-ritus itu mengingatkan para  pengikut raja bahwa monarki merupakan Tianzi (putra langit). Dia telah menerima mandate dari Tian Shang Di, Langit Maha Tinggi, untuk memerintah rakyat Cina. Dia sajalah yang diizinkan untuk melakukan pengorbanan kepada Tuhan tinggi, sedangkan Zhouhuang, ibukotanya di Lembah Wei merupakan pusat religious seluruh jaringan kota-kota Zhou. Tidak ada kota lain yang dibolehkan menyelenggarakan ritus kerajaan yang prestisius untuk menghormati raja-raja Cina yang telah mangkat selain Lu, yang pangerannya merupakan turunan langsung dari adipati Zhou.[11]

4.      Dinasti Chin (Qin, 221 SM – 207 SM). Setelah dinasti Chou, Cina diperintah oleh dinasti Chin (Qin). Konon nama Cina diambil dari nama dinasti Chin ini. Dinasti Chin memerintah dengan sistem sentralisasi dan meninggalkan sistem feodalisme (desentralisasi). Timbul pertanyaan, mengapa dinasti Chin meninggalkan sistem feodalisme dan melaksanakan sentralisasi dengan kekuasaan sebesar-besarnya ditangan pemerintah pusat? Kebijakan sentralisasi dilakukan oleh dinasti Chin sebab kekacauan yang terjadi di Cina pada akhir pemerintahan dinasti Chou tidak cukup hanya di atas oleh sikap raja-raja yang baik dan saleh saja. Namun dibutuhkan adanya kekuasaan raja yang kuat dan nyata serta hukum yang dijalankan dengan adil sehingga tercipta ketertiban dan ketentraman diseluruh negeri Cina. Pada masa pemerintahan Dinasti Qin, sistem tersebut berubah karena RajaCheng yang bergelar Qin Shi Huang membentuk Cina menjadi negara kesatuan yang hanya diperintah oleh satu orang pemimpin. Dalam pemerintahan Qin ShiHuang, dunia pendidikan dan ilmu pengetahuan Cina berkembang. Sayangnya saat beliau meninggal terjadi kekacauan karena perebutan kekuasan yang pada akhirnya berhasil diatasi oleh Liu-Pa.
Kaisar Qin Shi Huang dari Dinasti Qin
 
5.      Liu-Pa mendirikan Dinasti Han yang mencapai kejayaannya pada masa pemerintahan Han Wudi. Dinasti Han (207 SM – 221 M) Pendiri dinasti Han ialah Liu Pa. Pemerintahan dinasti Han kembali menjalankan sistem feodalisme dan mengijinkan kembali filsafat konfusianisme. Bahkan ajaran konfusianisme menjadi salah satu mata ujian bagi calon penghuni negeri. Masa pemerintahan dinasti Han mencapai puncak kejayaan di bawah kaisar Han Wuti. Wilayah kekaisaran Cina mencapai Asia Tengah (Turkistan), Korea, Mansyuria Selatan, Anam, dan Sinkiaing (daerah utara Tibet). Selain wilayahnya yang luas kaisar Cina juga menjalin hubungan dengan mancanegara. Setelah kaisar Han Wu Ti meninggal, dinasti Han mengalami kemunduran dan runtuh tahun 221 M. Negeri Cina mengalami kekacauan bahkan pernah dikuasai oleh bangsa Tar-Tar, sehingga masa ini disebut masa kegelapan. Pada abad 7 muncul dinasti baru di Cina yaitu dinasti Tang dari tahun 618 – 906. Sejak dinasti Tang terjalinlah hubungan dagang antara negeri Cina dengan kerajaan-kerajaan Nusantara. Dinasti Han mencapai masa kejayaannya di bawah pemerintahan kaisar Han Wu Ti. Kerajaan Cina meliputi Asia Tengah, Kore, Mansyuria Selatan, Anam, Sinking. Setelah kaisar Han Wu Ti meninggal pada tahun 87 M, Dinasti Han mengalami kemunduran dan akhirnya runtuk pada tahun 221 M. ketika terjadi kekacauan bangsa tartar menyerang Cina, dan akhirnya sebagian negeri Cina dapat dikuasainya. Namun pada abad ke-7 M negeri Cina berhasil dipersatukan kembali di bawah pemerintahan kaisar-kaisar dari Dinasti T’ang. Hal ini ditandai dengan kunjungan para musafir dari Cina misalnya I Tsing di Sriwijaya. Laksamana Cheng Ho dan Ma Huan berkunjung ke Majapahit.
6.      Kaisar Han Wudi dari Dinasti Han

Dinasti T’ang didirikan oleh Li Shih Min yang terkenal dengan nama Kaisar T’ang T’ai Tsung. Ia memperluas wilayah kekuasaannya ke luar negeri Cina seperti selatan menguasai Ton-kin, Annam dan Kamboja. Ke sebelah barat menguasai Persia dan laut Kaspia. Di bawah kekuasaan T’ang T’ai Tsung, dinasti T’ang mencapai masa kejayaannya. Dinasti ini salah satu yang terpenting dalam sejarah karena Cina berhasil memperluas wilayah kekuasaannya, mencapai kejayaandengan kehidupan masyarakat yang makmur dan sejahterah, serta berkembangan kesenian dan kebudayaan Cina kuno. Di bawah kekuasaan T’ang T’ai Tsung, dinasti T’ang mencapai masa kejayaannya. Pada bidang seni syair dan seni lukis terdapat seniman-seniman yang terkenal seperti Li Tai Po, Tu Fu, dan Wang Wei.
Tindakan-tindakan kaisar T’ang T’ai Tsung yang menarik perhatian rakyatnya adalah sebagai berikut:
-       Dikeluarkannya undang-undang yang mengatur pembagian tanah.
-       Membuat peraturan-peraturan pajak. 
-       Membagi Kerajaan Cina menjadi 10 Provinsi.

F.      Ilmu Pengetahuan dan Teknologi

Masyarakat Cina kuno memiliki banyak ahli astronomi (ilmu perbintangan) yang dapat  membantu  masyarakat  dalam  pembuatan sistem penanggalan. Perkembangan ilmu astronomi merupakan dasar dari berbagai  aktivitas  kehidupan bangsa Cina  karena sistem pertanian,  pelayaran, dan usaha lainnya memerlukan informasi tentang pergantian dan perputaran musim.  Perkembangan teknologi masyarakat Cina kuno terlihat dari pembuatan barang-barang perdagangan seperti barang tambang dan hasil olahannya berupa perabot rumah tangga, senjata, perhiasan, dan alat pertanian. Cina kaya akan barang tambang seperti batu bara, besi, timah, emas, wolfarm,  dan tembaga.
Bumi Cina mengandung berbagai barang tambang seperti batu bara, besi, timah, wolfram, emas dan tembaga, yang sebagian besar terdapat di daerah Yunan. Pembuatan barang-barang seperti perhiasan, perabotan rumah tangga, alat-alat senjata seperti pisau, pedang, tombak, cangkul, sabit dan lain-lain, menunjukan tingginya tingkat perkembangan teknologi masyarakat Cina pada saat itu.

G.     Arsitektur China Kuno
1.       Tembok Besar Cina (The Great Wall of China) dibangun pada masa pemerintahan Dinasti Chin. Namun, sebelum dinasti Chin berkuasa di Cina, sebenarnya di daerah Cina utara sudah dibangun dinding terpisah untuk menangkal serangan yang dilakukan oleh suku di sebelah utara Cina. Pada masa pemerintahan kaisar Shih Huang TI, dinding-dinding itu dihubungkan menjadi tembok raksasa yang panjangnya mencapai 7000 kilometer dan tingginya 16 meter serta lebarnya 8 meter. Pada jarak tertentu didirikan benteng pertahan yang dijaga ketat oleh pasukan Cina.

Untuk membuat tembok raksasa ini, diperlukan waktu ratusan tahun di zaman berbagai kaisar. Semula, diperkirakan Qin Shi-huang yang memulai pembangunan tembok itu, namun menurut penelitian dan catatan literatur sejarah, tembok itu telah dibuat sebelum Dinasti Qin berdiri, tepatnya dibangun pertama kali pada Zaman Negara-negara Berperang. Kaisar Qin Shi-huang meneruskan pembangunan dan pengokohan tembok yang telah dibangun sebelumnya.Sepeninggal Qin Shi-huang, pembuatan tembok ini sempat terhenti dan baru dilanjutkan kembali di zaman Dinasti Sui, terakhir dilanjutkan lagi di zaman Dinasti Ming. Bentuk Tembok Raksasa yang sekarang kita lihat adalah hasil pembangunan dari zaman Ming tadi. Bagian dalam tembok berisi tanah yang bercampur dengan bata dan batu-batuan. Bagian atasnya dibuat jalan utama untuk pasukan berkuda Tiongkok. Tembok raksasa ini dibangun dalam waktu 18 abad lamanya dan selesai pada masa kekuasaan Dinasti Ming (abad ke-17 M). Tembok Raksasa Cina dianggap sebagai salah satu dari Tujuh Keajaiban Dunia. Pada tahun 1987, bangunan ini dimasukkan dalam daftar Situs Warisan Dunia UNESCO.

2.       Kuil, salah satu kuil yang terkenal di Cina bernama Kuil Dewa Beijing. Terbuat dari batu pualam yang dikelilingi tiga pelataran yang amat indah serta di bagian tengah terdapat tangga yang terbuat dari batu pualam pilihan. Atap bangunan dibuat berlapis tiga.

3.       Istana, kaisar atau raja Cina dibangun dengan sangat megah dan indah. Tujuannya sebagai tanda penghormatan terhadap raja atau kaisar.

H.    Astronomi

Ilmu pengetahuan yang telah berkembang sejak jaman dongeng antara lain astronomi atau ilmu perbintangan. Ilmu astronomi digunakan untuk:
1.      menentukan penanggalan yang didasarkan pada peredaran bulan;
2.      meramal masa depan manusia dan masa depan Negara.
3.      mengetahui saat terjadinya gerhana matahari dan bulan; dan
4.      mengetahui perputaran atau pergantian musim yang erat hubungannya dengan kehidupan masyarakat seperti pertanian.

I.       Aksara dan Bahasa China Kuno

Masyarakat Cina sudah mengenal tulisan, yaitu tulisan gambar. Tulisan gambar itu merupakan sebuah lambang dari apa yang hendak ditunjukkan. Tulisan itu merupakan salah satu sarana komunikasi. Untuk memupuk rasa persatuan dan rasa persaudaraan, pada permulaan abad ke-20 dikembangkan pemakaian bahasa persatuan, yaitu bahasa Kuo-Yu.[12]
Pada zaman Dinasti Chou, aksara Cina ditulis pada potongan bambu. Cara menuliskannya adalah dari atas ke bawah. Sekitar tahun 105 M, pada masa Dinasti Han ditemukan teknik pembuatan kertas yang dibuat dari campuran bubur kayu dan lem. Sehingga aksara Cina kemudian ditulis di atas kertas. Penemu tersebut bernama Tsai Lun. Adapun pada zaman Dinasti T’ang ditemukan teknik cetak (untuk mencetak buku dan kalender).
Bangsa Cina juga menemukan tik gerak (movable type) yaitu blok-blok kayu dengan huruf-huruf yang dicungkil ke luar. Dengan penemuan kertas dan alat cetak tersebut memungkinkan adanya penerbitan buku-buku dalam jumlah yang besar dan dengan harga murah. Bangsa Cina termasuk bangsa yang sangat memperhatikan tulisan. Penemuan kertas dan alat cetak juga membantu penyebaran karya sastra di Cina.

J.        Sistem Ritual dan Kepercayaan

Trevor Ling, seorang Guru Besar Perbandingan Agama di University of Manchester menjelaskan: The religion of ancient China has frequently been described as a combination of the worship of deified powers of nature with worship of spirits of departed ancestors.[13]
Pada kematian seorang pangeran, gudang-gudang dan lumbung-lumbung dikosongkan. Emas, permata hijau lumut, dan mutiara dilekatkan ke tubuhnya. Gulungan sutra dan kereta kencana bersama kuda-kudanya ikut dikuburkan ke dalam makam. Tetapi untuk ruang pemakaman dibutuhkan banyak barang yang digantungkan, dan juga vas berkaki tiga, drum,  meja, tembikar, wadah-wadah es, kampak perang, pedang, bendera-bendera, dari bulu, gading, dan kulit hewan. Tak seorangpun puas sebelum seluruh kekayaan ini menemani yang meninggal. Sedangkan jumlah orang yang dikorbankan untuk menemaninya, kalau yang meninggal adalah seorang Putra Langit, bisa sampai ratusan atau puluhan. Jika dia seorang pejabat tinggi atau bangsawan, jumlahnya puluhan atau satuan.[14]

Sebelum ajaran Kong Fu Zi dan Meng Zi, bangsa Cina menganut kepercayaan dewa-dewa yang dianggap memiliki kekuatan alam. Dewa-dewa yang menerima pemujaan tertinggi dari mereka adalah Feng-Pa (dewa angin), Lei-Shih (dewan angin taufan yang digambarkan sebagai naga besar), T'sai-Shan (dewa penguasa bukit suci),  dan Ho-Po. Menurut kepercayaan Cina kuno,  dunia digambarkan sebagai sebuah segiempat yang di bagian atasnya ditutupi oleh 9 lapisan langit. Di tengah-tengahdunia itulah terletak daerah yang didiami bangsa Cina yang disebut T'ien-hsia.  Daerah di luar T'ien-hsia dianggap sebagai daerah kosong tempat tinggal para hantu dan Dewi Pa (penguasa musim semi).

Sistem religi ini termasuk didalamnya kepercayaan, sistem nilai, pandangan atau upacara kenegaraan. Pemujaan dan penghormatan kepada leluhur sangat di junjung tinggi oleh masyarakat Cina. Anak laki-laki mempunyai kewajiban berdoa untuk arwah orang tua atau leluhur secara periodik. Sebagai penghormatan, makam leluhur dibangun di tempat yang tinggi dan subur. Bangsa Cina juga percaya kepada dewa-dewa alam (dewa sungai, dewa gunung, dewa laut, dan lain-lain) serta siluman-siluman (ular, kera, babi, dan lain-lain). Dewa tertinggi adalah dewa Shang Ti (dewa angin).

Bangsa Cina percaya pada banyak dewa. Mereka memuja dan menganggap dewa-dewa memiliki kekuatan alam. Dunia digambarkan sebagai bidang segiempat dan di atasnya tertutup oleh langit yang terdiri dari sembilan lapisan. Di tengah-tengah dunia yang berbentuk segiempat terletakT’ienhsia, yaitu suatu daerah yang didiami oleh bangsa Cina. Daerah T’ienhsia merupakan daerah yang didiami oleh bangsa Barbar. Di luar daerah bangsa-bangsa Barbar terdapat daerah kosong dan menjadi tempat tinggal para hantu dan Dewi Pa, yang menguasai musim kemarau. Di sebelah timur dan selatan negara Cina ada empat lautan besar yang disebut Su-hai. Dewadewa yang dipuja bangsa Cina pada saat itu di antaranya Feng Pa (Dewa angin), Lei-Shih (Dewa Angin Topan), Tai-Shan (dewa yang menguasai bukit suci), dan lain sebagainya.

Masyarakat lembah sungai kuning menganut polytheisme. Mereka memuja dewa-dewi yang mempunyai kekuatan alam. Dewa yang mereka sembah antara lain: Feng Pa (dewa angin ), Lei -Shih (dewa angin topan yang digambarkan sebagai naga besar), Tai Shan (dewa yang menguasai bukit suci ), Ho Po (dewa penguasa sungai Hoang-Ho). Untuk memuja Ho Po setiap tahun diadakan upacara yang dipimpin oleh para pendeta perempuan dengan memberi sesaji berupa gadis tercantik di Cina yang diterjunkan di sungai Hoang Ho tersebut.

Pegunungan, sungai-sungai, dan angin semuanya merupakan dewa-dewa yang penting. Dewa –dewa alam ini milik Bumi, yang merupakan imbangan ilahiah dari Di, Dewa Langit. Karena mereka bisa mempengaruhi panen, mereka ditundukkan dan dibujuk dengan sesajian. Akan tetapi yang lebih penting adalah leluhur kerajaan, yang kultusnya merupakan inti agama Shang.[15]

Shang percaya bahwa ruh orang mati bisa jadi berbahaya; jadi, sanak saudara mengubur orang yang meninggal di dalam peti mati kayu yang tebal, menghiasi jasad mereka dengan permata hijau lumut, dan menyumpal semua lubang, agar ryhnya tidak lolos keluar dan memangsa orang-orang yang masih hidup. Ritual-ritual dirancang untuk mengubah hantu yang berpotensi menimbulkan masalah ini menjadi kehadiran yang menolong dan baik hati. Orang mati diberi nama baru dan hari pemujaan khusus dengan harapan dia kini akan menjadi kebajikan yang membantu komunitas. Dengan berlalunya watu, seorang leluhur menjadi lebih kuat, sehingga dirancanglah ritual-ritual untuk membujuk orang yang baru mati agar menyampaikan permohonan mereka kepada leluhur yang lebih tinggi, yang mungkin, pada gilirannya, bisa menjadi perantara dengan Dewaa Di.[16]

Dewa langit adalah dewa yang mendapat pemujaan tertinggi. Masyarakat Cina memuja dewa langit yang disebut Shang, karena langit adalah pemberi hujan dan panas matahari. Sedangkan bumi sebagai lahan yang menerima sinar matahari dan hujan dari langit. Sehingga masyarakat juga memuja dewi bumi. Selain pemujaan kepada dewa-dewa masyarkat Cina juga memuja arwah leluhur. Upacara pemujaan dilakukan oleh anak laki-laki tertua. Kepercayaan ini tidak langsung menghilang ketika muncul filsafat seperti Lao Tse dan Kong Fu Tse yang mengajarkan berbagai tentang norma dan nilai.
Pada zaman dinasti Zhou, sama seperti pada dinasti Shang, masyarakatnya mengadakan upacara kurban “tuan rumah” (bin) khusus setiap lima tahun dan mengundang dewa-dewa alam dan para leluhur untuk penjamuan besar. Selama sepuluh hari, istana mengadakan persiapan yang banyak, berpuasa, membersihkan kuil, dan mengeluarkan prasasti memorial para leluhur dari ceruk mereka dan menempatkannya di halaman istana. Pada hari pesta, raja dan ratu berjalan sendiri-sendiri ke halaman, kemudian anggota keluarga raja yang lebih muda, masing-masing menampilkan sosok seorang leluhur, digiring masuk oleh pendeta, mengucapkan salam dengan hormat, dan diantar ke tempat mereka masing-masing. Hewan disembelih untuk menghormati mereka, dan ketika dagingnya sedang dimasak, para pendeta berlarian di sepanjang jalan sembari memanggil dewa-dewa yang tersasar untuk menghadiri perjamuan itu. Pendeta meneriakkan, “Adakah kau disini? Adakah kau disini?” Musik indah mengiringi pesta itu dan setiap orang memainkan peran mereka dengan sangat riuh. Usai perjamuan—persekutuan suci dengan para leluhur yang secara mistis hadir dalam keturunan muda mereka—himne merayakan penyelenggaraan ritus yang sempurna itu: “setiap adat dan ritus ditunaikan,” partisipan bernyanyi, “setiap senyuman, setiap kata pada tempatnya.” Setiap isyarat wajah, setiap gerakan tubuh, dan setiap kata yang mereka ucapkan selama bin sudah ditentukan. Para partisipan meninggalkan individualitas mereka untuk tunduk pada dunia ritual yang ideal,” agar ritus-ritus itu dilakukan tanpa cela.”
                                            
            Semuanya teratur dan lancer
            Semuanya langsung dan pasti
           
Festival itu merupakan epifani masyarakat yang suci, hidup dalam kedekatan erat dengan tuhan; setiap orang memiliki perannya yang tak tergantikan, dan dengan meninggalkan diri mereka terserap ke dalam sesuatu yang lebih besar dan lebih berani. Ritual itu secara dramatismenciptakan replika istana Langit, tempat Tuhan Tinggi, Leluhur Pertama (diwakili oleh sang raja), duduk tenang bersama para leluhur Shang dan Zhou dan dewa-dewa alam. Ruh-ruh memberkati, tetapi mereka pun tunduk pada ritual-ritual drama yang sacral. Dinasti Shang telah menggunakan riitus ini untuk memperoleh perantaraan yang baik dari para leluhur dan dewa-dewa, tetapi menjelang abad kesembilan, pelaksanaan ritus ini secara akurat dan indah menjadi lebih dipentingkan. Jika dilakukan secara sempurna, sesuatu yang ajaib akan terjadi pada para partisipan, yang member mereka kedekatan dengan harmoni ilahi.
Upacara itu ditutup dengan tarian berkelompok enam babak yang rumit. Tarian ini menghidupkan kembali serangan raja-raja Wen dari Wu terhadap raja Shang yang terakhir. Enam puluh empat penari berpakaian sutra dan membawa kapak permata hijau lumut, mewakili bala tentara, sementara, raja sendiri memerankan bagian Raja Wen leluhurnya. Setiap babak memiliki tarian simbolik dan music khusus serta himne yang merayakan penegakkan mandate:
           
            Mandat tak mudah dipertahankan,
            Semoga tak berakhir di tanganmu.
            Tunjukkan dan cerlangkan kemasyhuranmu,
            Dan ingatlah apa yang diterima Yin dari Langit.
            Perbuatan Langit Tinggi
            Tiada bersuara, tidak beraroma
            Jadikan Raja Wen teladanmu
            Dan semua negeri akan percaya padamu.
            Tidak membantu kita.
            Sedangkan Ibu dan Bapak dan para Leluhur
            Mengapa mereka memperlakukan kita seperti ini
           
Ritual-ritual masih dilaksanakan dengan indah, dan masih berpengaruh besar pada para peserta, namun beberapa kritikus yang keras kepala mulai kehilangan keyakinan pada kekuatan magisnya. Namun,  respons terhadap krisis yang terus berkembang ini ternyata adalah dengan memperbanyak ritual, bukan menguranginya.[17]
           
BAB III
KESIMPULAN

Demikianlah saya jelaskan mengenai Peradaban China Kuno atau Sungai Kuning (Huang Ho), dimana dapat saya simpulkan bahwa dilihat dari letak geografis yang cukup subur, masyarakat China kuno pada waktu itu memanfaatkan kondisi tempat yang ada untuk bertahan hidup dengan cara bertani, bercocok tanam. Kemudian dalam system social kemasyarakatan, masyarakat China kuno terdiri susunan atau hierarki sebagai berikut:
-          Raja/Kaisar,
-          Pangeran Kerajaan,
-          Penguasa Kota,
-          Kepala keluarga terhormat,
-          Bangsawan,
-          Rakyat Biasa/Prajurit.

Masyarakat China Kuno pada waktu itu sudah mulai berkembang, dilihat dari hasil karya mereka yang bisa mengembangkan seni tulis menulis. Dan dalam system pemerintahan, mereka menganut system Feodal dan Unitaris. Selain itu, bermunculan pula dinasti-dinasti yang berkembang seiring kemajuan masyarakat China kuno. Juga mereka sudah mulai memahami ilmu astronomi (perbintangan) yang bermanfaat untuk penghitungan kalender mereka. Beberapa bangunan yang dibangun oleh masyarakat China Kuno pada waktu itu seperti Tembok China, Kuil-kuil dan istana-istana menandakan bahwa peradaban China Kuno (Sungai Kuning) ini sudah mengalami kemajuan.


DAFTAR PUSTAKA

Amstrong, Karen, The Great Transformation; Awal Sejarah Tuhan, Bandung: Mizan, 2007


Ling, Trevor, A History of Religion East And West, London: The Macmillan Press LTD, 1982, Cet. IV

Taniputra, Ivan.  History Of China, Yogyakarta: Ar-Ruzz Media, 2007



[2] Ivan Taniputra, History Of China. Jogjakarta: 2007, Ar-Ruzz Media, hal: 22
[3] http://hasheem.wordpress.com. Diakses pada Kamis, 28 Februari 2013 Pukul 19.30 WIB.
[4] Karen Amstrong, The Great Transformation; Awal Sejarah Tuhan. (Bandung: Mizan, 2007), hal: 30
[5] Ibid., hal: 33
[6] http://hasheem.wordpress.com. Diakses pada Kamis, 28 Februari 2013 Pukul 19.30 WIB.
[7] Karen Amstrong, The Great Transformation; Awal Sejarah Tuhan. (Bandung: Mizan, 2007), hal: 29
[8] Ibid., hal: 28
[9] Karen Amstrong, The Great Transformation; Awal Sejarah Tuhan. (Bandung: Mizan, 2007), hal: 30
[10] Ibid., hal: 38
[11] Ibid., hal: 79
[12] http://hasheem.wordpress.com. Diakses pada Kamis, 28 Februari 2013 Pukul 19.30 WIB.
[13]Trevor Ling, A History of Religion East and West, (London: The Macmillan Press LTD, 1982), hal: 102
[14] Karen Amstrong, The Great Transformation; Awal Sejarah Tuhan. (Bandung: Mizan, 2007), hal: 35
[15] Karen Amstrong, The Great Transformation; Awal Sejarah Tuhan. (Bandung: Mizan, 2007), hal: 33
[16] Ibid., hal: 34
[17] Ibid., hal: 87-89

http://www.facebook.com/groups/471605966225811/#

0 Comments:

Post a Comment